Home » Cerpen » Kucing

Kucing

Saya sendiri terkadang sering heran dengan kucing-kucing ini. Hobinya mampir dan numpang makan di rumah saya. Dari sekian rumah yang terbuka pintunya, dia lewatkan begitu saja. Ketika tepat di pagar rumah saya yang terbuka, dengan santai mereka nyelonong ke dalam tanpa permisi.

Istri saya juga jarang beli ikan sebenarnya. Apalagi daging. Mahal soalnya. Jadi jangan berharap kucing-kucing itu dapat makanan lezat di sini! Kalau mau, tahu atau tempe atau sayur lodeh.

Ternyata kucing-kucing itu mau. Kue bolu, wafer tango sisa, roti remah-remah paling doyan. Tempe terkadang suka juga.  Kucing-kucing yang aneh. Saya kadang ngomong ke istri, “Kucing-kucing itu jangan-jangan dahulunya manusia. Roh dari manusia yang sudah meninggal. Mereka reinkarnasi menjadi kucing. Maka itu mereka suka biskuit dan sayur nasi?”

“Ayah banyak berkhayal. Ya enggalah, mereka berasal dari orang tuanya,” kata istri saya.

Walau saya suka sebel dengan kucing-kucing liar ini, saya tidak tega kalau tak memberinya makanan. Kalau saya sedang makan di meja, mereka di bawah menunggui saya dengan wajah memelas. Tak tega juga saya akhirnya. Sekedar tempe sisa atau nasi sisa diberi kuah sop saya giring mereka keluar. Mereka pun makan dengan lahapnya. Mungkin ini yang membuat mereka betah nongkrong ke rumah saya.

“Itu namanya Mona Yah,” kata si Fatir anak saya ketika saya sedang memberi nasi kuah sayur.

Kata si Fatir, Mona adalah kucing tertua di sini. Sebagian besar kucing-kucing di lingkungan sini masih  keturunan si Mona. Dan hari ini saya lihat si Mona sedang mengandung. Sudah lumayan besar perutnya.  Jalannya saja sudah kelihatan gontai karena menahan berat. Mengandung anak yang keberapa si nenek ini?

Besoknya sehabis pulang ngantor saya niatkan membeli makanan kucing di tukang burung dekat rumah. Kasihan kalau harus bergantung pada menu masakan manusia terus. Cukup saya beli setengah kilo saja. Khususnya kepada yang sedang hamil agar bayinya sehat dan dapat lahir normal.

Si Mona jadi makin sering datang ke mari. Tapi sekarang saya tak perlu repot mengaduk menu nasi dengan lauknya di piring. Sekarang tinggal ambil dari toples, buka tutupnya, saya raup, lalu saya sebar pakan itu di teras depan. Mudah-mudahan jadi ladang amal nantinya. Di akhirat nanti mereka akan menyebut nama saya sebagai si pemberi makan waktu di dunia. Mudah-mudahan…

 

****

Beberapa hari kemudian si Fatir teriak-teriak panik dari kamarnya.

 

“Ayah, si Mona lahiran!”

 

“Berdarah Yah!”

 

Entah siapa yang menaruh kardus bekas indomie ini di pinggir spring bed ini. Kardus ini seperti sudah ditakdirkan untuk si Mona lahiran. Sekarang kardus bekas itu ada sedikit bercak darah masih segar. Benar, si Mona lahiran. Anaknya empat. Mereka bergeletakan tak berdaya di kardus. Mata bocah yang lucu-lucu itu  masih menempel seperti kena lem. Ke mana si Mona? Dalam hati saya.

 

Belum selesai hati saya berbicara, datang dia dengan bawaan di mulutnya. Anaknya masih terkulai dalam gigitannya. Ini anak yang kelima ternyata yang dia gotong dari luar.

 

“Dia lahiran di rumah Mas Hilman tadi siang, Yah,” kata si Fatir. “Sekarang dia bawa semua anak-anaknya kemari.” Mas Hilman adalah tetangga enam rumah dari sini.

 

Ada pekerjaan rumah baru lagi ini, dalam hati saya. Kedatangan lima anak kucing ini adalah tamu tak diundang. Matanya masih menempel. Kakinya saja masih layu. Saya membayangkan kalau kelima anak ini teriak-teriak nanti malam saat kami tidur pulas. Secara membarengan kelima anak ini teriak kehausan. Tidak terbayangkan.

 

                                                            ****

 

Benar dugaan saya. Suara-suara itu sampai terbawa dalam mimpi saya. Berisik sekali. Ternyata suara cempreng menusuk telinga itu bersumber dari kamar si Fatir. Di saat malam gulita, semua suara menjadi lebih menggema. Suara detak jam dinding pun bisa terdengar seperti degup jantung.

 

Saya akhirnya keluar mencari suara itu. Di dalam kamar, si Fatir ternyata juga bangun.

 

“Kamu bangun Tir?” ketika saya sampai di kamarnya.

 

“Iya Yah, abisan berisik suara bocah-bocah ini.” 

 

“Kemana emaknya?” tanya saja.

 

“Dari semalam memang engga ada.”

 

Ibu yang tidak bertanggung jawab, dalam hati saya. Mereka ini pasti kehausan. Bayi manusia pun akan nangis kalau ditelantarkan begini. Semakin didekati semakin kencang suara mereka, seperti minta pertolongan. Tiba-tiba lampu kamar menyala, ternyata istri saya yang menyalakan. Anak saya yang kecil pun ikut bangun. Malam ini sudah pukul o1.25 dan kami sedang berkumpul menonton anak kucing dengan mata setengah menempel.

 

“Kasih kain lap aja. Kainnya dipanaskan di kompor. Jadikan selimut. Biar mereka hangat,” kata istri saya memberi saran.

 

Saran yang bagus.

 

Ternyata mereka suka. Suara-suara rewel mulai reda satu per satu. Mungkin mulutnya terbekap kain hangat itu sehingga tak bisa membuka mulut lagi. Alhamdulillah, kami pun bisa melanjutkan tidur lagi.

 

Itu hari pertama. Hari kedua begitu lagi. Lebih kencang suaranya. Suara koor paduan suara tanpa harmoni yang jelas. Sudah dikasih kain hangat masih saja rewel juga. Sampai hari ketiga ternyata begitu terus tiap malam. Setiap berangkat kerja kepala saya jadi pusing karena semalam tidak bisa tidur. Istri saya menyarankan agar kucing itu dipindahkan saja.

 

“Tir, bagaimana kalau anak kucing ini kita buang aja. Kita taruh di semak-semak atau taruh di perumahan seberang. Siapa tahu ada yang suka dan memeliharanya?” kata saya memberi ide.

 

“Jangan Yah, kasihan.”

“Kalau kamu engga tega, biar Ayah yang buang, nanti,” kata saya memaksa.

 

“Jangan Yah, kasihan.”

 

Tekad saya sudah bulat. Saya cari tas besar yang biasa membawa barang di lemari kamar atas. Tapi jangan malam ini, nanti dikira membuang sesuatu yang mencurigakan lagi. Besok pagi saja sambil saya berangkat kerja.

 

Selesai salat subuh saya langsung siap-siap mengambil tas besar. Saya lihat si Fatir masih tidur nyenyak. Tapi suara anak kucing sudah tak kedengaran lagi. Mungkin sedang asyik berpelukan karena sudah subuh. Sudah cape teriak-teriak terus dari semalam. Saya buka kardus bekas itu. Tak ada bayangan benda di dalamnya. Saya penasaran. Lampu akhirnya saya nyalakan. Mereka tidak ada. Kelimanya sudah hilang. Sungguh ajaib. Ke mana mereka?

 

Saya sempat keluar pagar rumah sambil membawa senter. Mungkin saja masih ada jejak kelima bocah itu. Di kolong kursi depan dan pojok ruangan pun tak ada. Jangan-jangan dimakan tikus? Tapi kalau dimakan tikus harusnya meninggalkan jejak darah. Jarum jam sudah ke angka enam, saya harus buru-buru ke kantor.  

 

Sampai kantor, saya tak langsung menyalakan komputer tapi langsung wa ke istri, apa si Mona dan anaknya sudah ketemu?

 

belum, kata istri saya.   

 

Sorenya pas saya sampai rumah, si Fatir kasih info ter-update: Si Mona dan anaknya ada di saluran got.

 

“Got?” tanya saya.

 

Katanya siang itu ia keliling kompleks dengan teman-temannya mencari si Mona dan anaknya. “Iya, Yah, di saluran air depan rumah Bude Darmi. Tapi saluran airnya kering, engga ada airnya.”

 

“Susah diambilnya Yah, dia ada di lorong jembatan gitu. Gelap lagi. Takut ada ular.”

 

Di lorong jembatan? Gelap? Dalam hati saya. Bagaimana kalau nanti datang hujan dan saluran itu dialiri air yang deras? Nekat sekali si Mona. Binatang juga memiliki firasat yang tajam bagaimana cara menghindar dari bahaya. Mungkin memindahkan anaknya ke got itu adalah insting agar anaknya aman dari si penculik jahat. Penculik yang datang saat subuh dengan gembolan tas besarnya. Berniat membuang kelima anaknya dengan sepeda motor entah di mana…  

 

 

Ihsan Ibrahim

Guru Bahasa Indonesia SMP Islam Al Hikmah